
Rilis Survei APSSI: Kepemimpinan dan Keberlanjutan Indonesia
APSSI telah melakukan survei terkait persepsi masyarakat terkait dampak krisis multidimensi global baik ekonomi, pangan dan kerusakan lingkungan dan konsep kepemimpinan untuk menjaga keberlanjutan Indonesia.
Metode
Survei menggunakan pendekatan statistik deskriptif non-hipotesis. Pelaksanaan survei ada di enam kluster kepulauan yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Bali-NTT-Papua dengan responden sejumlah 418. Metode pegumpulan data melalui digital simple random sampling. Margin error 5%. Survei dibagi menjadi dua kluster, yaitu (1) keberlanjutan Indonesia di tengah krisis dunia, dan (2) kelembagaan sosial perawatan lingkungan.
Kluster keberlanjutan Indonesia
Kluster ini menilai dampak krisis global dan kepemimpinan untuk menghadapi krisis demi keberlanjutan Indonesia.
Terkait Dampak negatif krisis global dalam keseharian masyarakat, mayoritas responden 28.7% merasakan penghasilan berkurang, disusul sumber bahan pokok lebih sulit 24.4% dan peningkatan konflik dalam pergaulan sehari-hari 15.07% menjadi kecenderungan dampak negatif. Jawaban lain-lain 21.53% mengindikasikan kompleksitas dampak negatif krisis global terhadap kehidupan masyarakat. Catatan menarik, pada situasi krisis global hanya 7.17% responden menyatakan kehilangan pekerjaan.
Sedangkan dampak positif krisis global yang paling terasa dalam keseharian, mayoritas responden 21.10% melihat tumbuhnya kreativitas berbisnis. Hal ini memberi makna bahwa masyarakat Indonesia memiliki mekanisme ekonomi yang baik dalam krisis global. Selain itu. tumbuh budaya hemat bahan makan 21.53% dan hemat energi 14.55%. Sebanyak 19.8% responden menyatakan bahwa solidaritas sosial masyarakat mencapai 19.85%. Secara umum, bagi masyarakat Indonesia krisis global direspon secara positif.
Pada pertanyaan tentang konsep kepemimpinan Indonesia yang paling dibutuhkan agar mampu menghadapi krisis global dan menjaga keberlanjutan Indonesia, sejumlah 36.84% responden mendukung konsep kepemimpinan yang ‘memperlihatkan kerja dan respon cepat menangani masalah masyarakat bawah tanpa memperhatikan SARA’. Sedangkan isu lingkungan dalam kepemimpinan nasional tampaknya mulai menjadi perhatian serius masyarakat dengan mencapai urutan kedua, yaitu 14.33%. Konsep di bawah dua isu di atas adalah pemimpin yang tegas menegakkan hukum 12.67%, dan diikuti kepemimpinan cerdas memiliki ilmu pengetahuan 12.63%.
Terkait dengan figur pemimpin bangsa yang mampu menghadapi krisis global, Ganjar Pranowo dianggap paling merepresentasikan konsep kepimpinan responden, yaitu mencapai 25.84% disusul Anies Baswedan 22.72%. Ridwan Kamil meraih 12.68% atau urutan ketiga mengalahkan Prabowo Subianto dengan 6.93% Sedangkan Khofifah Indar Parawangsa meraih 1.19%, lebih tinggi dibandingkan figur lain seperti Puan Maharani dan Muhaimiin Iskandar yang mendapat 0.48%. Namun, responden yang menjawab belum tahu sebenarnya meraih urutan ketiga, yaitu 21.78%. Hal ini merupakan indikator belum adanya keputusan memilih pemimpin nasional masih sangat besar.
Sebesar 33.27% responden setuju dan 52.15% sangat setuju bahwa cara menghadapi krisis dunia, pemimpin harus bisa melanjutkan capaian yang sudah ada. Hal ini menandakan masyarakat melihat capaian pemerintahan saat ini mampu menghadapi krisis. Hanya 7.18% responden tidak setuju, dan 2.39% tidak tahu.
Kluster Kelembagaan sosial ingkungan
Kluster ini memperlihatkan secara umum, Indonesia masih bermasalah terkait perilaku sosial dan kebijakan perawatan lingkungan. Hal ini diperlihatkan dari sebesar 62.2% responden menyatakan bahwa elemen-elemen bangsa belum melakukan perawatan lingkungan. Hanya 22.48% responden menyatakan setuju bahwa bangsa Indonesia sudah melakukan perawatan lingkungan secara baik, dan 5.26% sangat setuju. Sedangkan terkait perilaku membuang sampah, sebanyak 55.02% responden sangat setuju, dan 36,6% setuju masyarakat masih membuang sampah sembarangan. Hanya 4.3% responden menyatakan masyarakat Indonesia sudah membuang sampah secara baik (tidak sembarangan).
Novri Susan
(Sekjend APSSI)