Refleksi Atas Pidato Kenegaraan Jokowi
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi politik hebat pada fase pemerintahan Soeharto. Krisi yang menyebabkan eskalasi konflik antara rakyat dan pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi masa itu memicu serangkaian aksi demonstrasi dan bahkan penjarahan serta pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa.
Ekonomi memang sangat krusial sehingga negara harus memikirkan kedaulatan ekonomi rakyat. Salah sedikit saja, akan melarikan negara tersebut ke jurang resesi dan kebangkrutan. Tentu saja bukan hanya korporasi yang berpotensi bangkrut, negara pun sama ketika gagal mengelola sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia dan sumber daya alam. Krisis ekonomi atau krisis moneter bisa terjadi pada negara manapun, terlepas dari negara adidaya ataupun negara berkembang seperti Indonesia.
Dilansir dari Finfolk Money 17 Juni 2022, bahwa pada 16 Juni 2022, Bank Central Amerika Serikat atau dikenal juga dengan julukan The Fed, menaikan suku bunga sebesar 0,75% menjadi 1,75%. Kenaikan suku bunga tersebut merupakan kenaikan tertinggi sejak tahun 1994, dimana langkah tersebut dilakukan dengan alasan untuk meredam inflasi terburuk yang dihadapi Amerika Serikat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia?
Suku bunga bank yang lebih tinggi, akan mendorong permintaan dollar yang membuat nilai tukar dollar AS menguat 10% sejak awal 2022. Ini semua yang menyebabkan mata uang lain, seperti rupiah akan melemah. Di Indonesia, inflasi semacam ini tentunya akan menurunkan daya beli masyarakat, serta akan menimbulkan suku bunga yang menghambat investasi dan kerugian bisnis bagi para korporasi. Harga bahan pokok dan barang penunjang ikut naik, serta nilai tukar rupiah akan ditentukan oleh mata uang Amerika. Semua itu memiliki dampak cukup berat dalam jangka panjang bagi Indonesia.
Kondisi Indonesia
Namun dalam keadaan krisis yang terjadi hampir disemua negara, presiden Indonesia yaitu Joko Widodo dalam pidatonya menyatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses perbaikan ekonomi dengan menunjukkan beberapa kemajuan. Pidato tersebut disampaikan pada Pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 dan Nota Keuangannya di depan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Kemajuan-kemajuan yang ditunjukkan oleh Jokowi, antara lain apresiasi dari dunia karena Indonesia berhasil menangani pandemi dan memulihkan ekonomi dengan cepat termasuk nilai daya beli masyarakat berangsur pulih. Namun Indonesia tetap harus waspada terhadap risiko gejolak ekonomi global yang masih tinggi, terlebih lagi dengan kondisi politik antara Ukraina dan Rusia yang semakin memanas.
Dalam topik pertumbuhan ekonomi ini, mungkin Indonesia perlu mendapatkan apresiasi dengan segala prestasinya. Namun, pemerintah juga perlu menyadari bahwa di balik pesatnya pertumbuhan ekonomi, terdapat ancaman bencana ekologi yang akan dialami. Dalam 100 tahun terakhir, peradaban manusia berhasil menghapus angka kemiskinan hingga 90%. Mungkin ini berarti bahwa kita hidup di masa paling makmur dalam sejarah.
Berkat perkembangan ekonomi global, pesatnya teknologi dan konektivitas perdagangan yang membuat peradaban mansuia menjadi pesat berkembang. Masalahnya adalah di balik kemajuan yang kita nikmati saat ini. Terutama Indonesia yang bisa menarik sedikit napas lega karena berhasil keluar dari resesi ekonomi, terdapat konsekuensi yang harus diterima. Salah satu konsekuensi tersebut adalah kerusakan lingkungan dan suku-suku adat di Indonesia. Ini juga berarti bahwa kerusakan ekologi bahkan masalah iklim akan datang menyertai perkembangan ekonomi tersebut.
(sumber foto: Tirto.id)
Seperti kampanye #sawitbaik yang pernah disampaikan oleh pemerintah Indonesia. Kampanye pemerintah tersebut mungkin diharapkan bahwa sawit akan menjadi modal ekonomi Indonesia di kancah global, namun di sisi lain, kampanye tersebut pula yang membuat perusahaan sawit semakin massif merambah dan menggunduli hutan-hutan di Indonesia. Konflik akhirnya tak dapat terhindarkan, karena ada beberapa suku adat yang ikut pula digunduli atau diraksek tanah adatnya oleh perusahaan sawit tersebut. Salah satunya adalah suku Kinipan. Suku Kinipan membela tanah adatnya, namun mereka harus rela diseret oleh aparat untuk dikriminalisasi. Ini menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi justru memicu bencana ekonomi tersebar untuk masa depan.
Wacana Ekonomi
Untuk membahas persoalan ekonomi, uang, resesi dan sebagainya, pemikiran Foucault bisa digunakan. Foucault memandang bahwa realitas dunia sebagai realitas yang eksis dan diciptakan oleh kekuasaan, dimana kekuasaan itulah yang akan memproduksi dan mereproduksi pengetahuan sehingga menghasilkan wacana di tengah masyarakat.
Dalam hal ini, pidato Presiden yang sempat disinggung di atas, adalah wacana untuk dinikmati yang mampu mengkonstruksi nilai-nilai realitas sosial di tengah kehidupan masyarakat. Karena pengetahuan masyarakat tentang negara, ekonomi negara dan sebagainya akan ditentukan oleh kontrol negara terhadap pengetahuan kita.
Seperti apa saja kandungan pidato presiden yang membaga-banggakan prestasi dalam bidang ekonomi global, pengetahuan kita akan terbatas pada apa yang disampaikan oleh presiden Joko Widodo tersebut. Padahal mungkin faktanya, keadaan di dalam negeri Indonesia sendiri tidak sama dengan penyampaian-penyampaian tersebut. Ini berarti juga, negara dengan kekuasaannya yang berhak menentukan nilai “kebenaran” dan nilai “kesalahan”.
Mungkin contohnya adalah Faisal Basri dalam wawancaranya dengan Detikfinance, yang menyampaikan dan seolah-olah menampik bahwa Indonesia pada kenyataannya tidak sehebat itu di bidang ekonomi. Faisal Basri menyampaikan bahwa inflasi di Indonesia memang tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain, dan ini bukan berarti Indonesia itu hebat. Menurut Faisal Basri yang merupakan seorang ekonom, kenapa itu bisa terjadi, karena banyak yang ditahan di Indonesia, seperti minyak yang ditahan, banyak penyelundupan dan sebagainya. Menurutnya juga, Indonesia tinggal menunggu waktu.
Pembahasan kali ini mengingatkan kita pada awal-awal kemunculan teori pembangunan poststruktural yang sangat erat mengkritik teori pembangunan sebelumnya dari abad reinaisance, yang dimana teori pembangunan dari abad pencerahan itu dianggap telah gagal menyelesaikan masalah masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia. Di sini, teori pembangunan poststruktural menganggap teori pembangunan sebelumnya dengan paradigma modernisasi terlalu bersifat eksistensialis, ahistoris dan terlalu ideologis. Akibatnya, teori pembangunan yang ada tidaklah berakar pada masyarakat dunia ketiga yang dibangun. Ini terbukti dengan Indonesia yang tidak berdaulat sama sekali secara ekonomi, politik dan budaya.
Ketika wacana yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya mengakar di tengah masyarakat Indonesia, maka kekuatan pengaruh politik Indonesia di dalam negeri akan memiliki kekuatan besar dan sulit untuk terelakan meskipun terdapat pertentangan-pertentangan dari pengetahuan yang lain. Dalam artian, wacana tersebut akan menjadi massif, terutama dalam hal ekonomi yang sedang krisis.*
* Argyo Demartoto (Dosen Program Studi Sosiologi FISIP UNS)
* Djilzaran Nurul Suhada (Mahasiswa Program Studi Magister Sosiologi FISIP UNS)