Perubahan Fungsi Sungai Sebagai Tempat Sampah: Sebuah Analisa Sosiologis

Perubahan Fungsi Sungai Sebagai Tempat Sampah: Sebuah Analisa Sosiologis

Sosiologi Bicara—Dalam sejarah peradaban dunia, sungai kerap menjadi sentral peradaban umat manusia. Sungai dimanfaatkan untuk jalur transportasi, sungai untuk jalur perdagangan, sungai untuk sumber irigasi pertanian, sungai untuk sumber air minum dan sungai menjadi ruang sosial masyarakat untuk mengobrol sambil mencuci pakaian, mandi dan memberi minum ternak. Peradaban manusia mengikuti sungai karena sungai menyediakan segala hal untuk kebutuhan hidup manusia. Selain itu, hidup di tepi sungai lebih subur untuk lahan pertanian dan lebih mungkin mendapatkan makanan dan hewan buruan (Lidiawati: 2014).

 

Indonesia memiliki banyak sungai seperti Sungai Kapuas di Kalimantan Timur, Sungai Mahakam di Kalimantan, Sungai Batanghari di Sumatera, Sungai Barito di Kalimantan Tengah, Sungai Musi di Palembang, Sungai Bengawan Solo di Jawa Timur, Sungai Brantas di Jawa Timur, Sungai Ciliwung di Jakarta dan sungai-sungai lain di Indonesia. Sungai-sungai ini adalah pusat aktivitas manusia. Seperti di sungai Barito, digunakan sebagai pasar terapung. Bahkan di sisi sungai digunakan untuk membangun tempat tinggal.

 

Akan tetapi, kondisi sungai saat ini  jauh dari bayangan pemanfaatan masa lalu. Sungai kini penuh dengan sampah, baik sampah plastik hingga sampah popok sekali pakai. Hal ini menyebabkan sungai menjadi berbau, kotor, dan airnya berubah warna menjadi hitam.

 

Hasil penelitian dari Waqiatun Rofiah (2016) di wilayah Sungai Semangir Mangli Jember, menemukan bahwa masyarakat di sepanjang sungai Semangir memiliki kebiasaan membuang sampah popok bayi di sungai tersebut. Tercatat di posyandu ada 258 bayi dan 1523 balita, jika semuanya menggunakan popok bayi dan dibuang ke sungai, maka ada sekitar 5343 popok bayi yang terbuang percuma di sungai setiap hari. Oleh karena itu, kondisi sungai di Kabupaten Jember telah melihat banyak sampah plastik dan popok bayi di sepanjang sungai.

 

Padatnya jumlah penduduk dan banyaknya jumlah sampah menjadi salah satu pemicu rusaknya sungai. Selain karena faktor perilaku masyarakat dalam membuang sampah di sungai, juga berubahnya budaya masyarakat dalam penggunaan alat bungkus makanan. Saat ini hampir sebagian besar masyarakat terbiasa menggunakan plastik untuk membungkus makanan. Bungkus tersebut sulit terurai dan kurangnya lahan untuk menimbun sampah membuat masyarakat memilih membuangnya ke sungai.

 

Hasil penelitian dari Gysma Pristi (2014) menyebutkan bahwa masyarakat di sekitar sungai Bedadung Jember setidaknya membuang satu kantong sampah setiap harinya. Jika ada 111 KK di lokasi itu, ada sekitar 111 bungkus sampah yang dibuang setiap harinya di sungai Bedadung. Dalam sebulan ada sekitar 333 bungkus sampah yang terbuang di sungai Bedadung. Menurut Pristi, aktivitas masyarakat membuang sampah di sungai merupakan tindakan rasional. Alasannya didasarkan pada tidak adanya tempat sampah, tidak ada petugas kebersihan yang membuang sampah, tidak memiliki tanah untuk membuang sampah, jarak sungai dengan rumah yang sangat dekat, lokasi tempat pembuangan sampah sementara yang jauh dari rumah, dan tidak ada hukuman untuk membuang sampah sembarangan.

 

Satu hal lagi yang menjadi faktor rusaknya sungai adalah adanya privatisasi kamar mandi, sehingga sungai jarang dimanfaatkan untuk kegiatan mandi, mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya. Setiap rumah telah memiliki kamar mandi, sehingga sungai-sungai telah ditinggalkan secara perlahan. Bahkan, dalam kondisi demikian sungai dipandang tidak lagi memiliki fungsi yang krusial sehingga ia dipandang sebagai tempat sampah. Pada banyak lokasi sering ditemukan sungai dijadikan sebagai septic tank dan tempat membuang limbah pabrik.

 

Sungai dianggap tangguh karena ia terus mengalir ke laut. Ada rasa aman saat melihat sampah itu tidak lagi di hadapannya, dan merasa bahwa lautan adalah sangat luas dan lapang dada menerima sampah-sampah itu. Meskipun, dalam kondisi tertentu di suatu waktu ia tetap setia mengembalikan ikan pada piring piring rumah tangga. Tentunya ikan yang telah pernah menyelinap diantara tumpukan sampah popok bayi atau popok nenek dan kakek. Popok yang mungkin berisi beragam macam yang kita sendiri tidak sudi melihat dan membersihkannya.

 

Dalam hal ini manusia menganut sudut pandang antroposentrisme, manusia mengganggap bahwa ummat manusia dan segala kepentingannya sebagai sebuah nilai yang tertinggi, sehingga menganggap bahwa nilai, etika dan prinsip moral hanya berlaku bagi ummat manusia. Kewajiban dan tanggung jawab manusia terhadap alam merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, bukan terhadap alam itu sendiri. Alam akan diperlakukan dengan baik jika alam itu mampu memberikan manfaat bagi manusia, namun akan diabaikan jika dianggap sudah tidak berguna.

 

Walaupun demikian sungai tetap menerima meski perlakuan terhadapnya demikian. Bahkan, air pun kadang tidak mau menyapanya, sungai kering dan tak terlihat sebagai sungai. Anak-anak kecil tidak tahu betapa nikmatnya mandi di sungai, memancing di sungai, bahkan mungkin ada yang tidak tahu bahwa ada sungai dalam kehidupan umat manusia.

 

Saatnya manusia melihat sungai sebagai bagian dari makhluk atau spesies lain yang berhak mendapatkan hak yang sama dalam mengakses hidup yang layak. Cara pandang ini dikenal dengan ekosentrisme. Dimana cara pandang ini melihat sungai berhak untuk tidak dijadikan tempat sampah dan septic tank. Sungai berhak atas air yang benih dan jernih, karena sungai bukan pengantar banjir ke tengah ruang keluarga. Sejatinya sungai sebenarnya bisa menghadirkan ikan ke tengah meja makan, sungai bisa menghadirkan air di kamar mandi kita, sungai bisa mengaliri sawah-sawah petani, sungai pun bisa menghadirkan listrik untuk menerangi ruang keluarga yang hangat.

 

Selamat hari sungai

 

Baiq Lily Handayani, M.Sosio

Kelompok Riset Women, Ecology and Sustainabilty. Universitas Jember

Post a Comment