Menyorot Kasus Hukum Nikita Mirzani, Ketika Hukum Tumpul Ke Atas
Penegakan hukum di negeri ini memang masih layaknya pisau; tajam ke bawah, tumpul ke atas. Aparat penegak hukum; mulai polisi, jaksa dan hakim, sangat begitu garang ketika menangani dan menghukum pelaku kejahatan/tindak pidana dari kaum papa. Garangnya para penegak hukum sudah dimulai sejak proses penyidikan di polisi. Sebut saja ketika ada orang miskin melakukan tindak pidana pencurian ringan –yang motifnya sering kali karena keterdesakan (baca: kemiskinan)- atau tindak pidana ringan lainnya, polisi langsung memproses hukum, bahkan kerapkali pelaku langsung di tahan. Alasan normative “kaku” yang seringkali dipakai adalah karena alasan objektif dan subjektif. Dua alasan ini yang sering pula diterapkan secara berbeda ketika menangani pelaku yang berbeda kasta. Penerapan alasan ini juga yang diterapkan pada kasus; mbah Minah, Basar-Kholil, Aal, dan kaum papa lainnya.
Sementara, sebaliknya aparat penegak hukum sangat begitu lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas atau pesohor. Saat ini, kasus hukum yang menjadi sorototan publik adalah kasus artis Nikita Mirzana (NM). Setelah ditetapkan sebagai tersangka, pihak kepolisian Serang Kota bermaksud untuk menangkap NM. Pada 31 Juli 2022 lalu, akhirnya polisi menangkap NM di pusat perbelanjaan kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Tersangka NM ditangkap berkaitan dengan perkara pencemaran nama baik melalui ITE yang dilaporkan oleh Dito Mahendra.
Proses hukum di kepolisian Serang Kota atas NM ini sempat menimbulkan kontroversi, mulai dari upaya paksa “pengepungan” NM di rumahnya, pelaporan ke Propram Polda Banten atas perlakuan polisi, sampai upaya penangkapan NM. Upaya paksa yang dilakukan pihak kepolisian atas NM lantaran NM dinilai tidak kooperatif ketika dalam proses penyidikan. Beberapa kali dipanggil selalu mangkir. Saat ditangkap, sejatinya polisi akan menahan NM, namun batal ditahan. Menurut Kabid Humas Polda Banten, Shinto Silitongan, hal tersebut dilakukan karena pertimbangan kemanusiaan dengan alasan kemanusiaan. Tersangka NM harus mendampingi tiga anaknya yang masing kecil-kecil. NM hanya diwajibkan wajib lapor. Dalam beberapa kasus hukum lainnya yang sejenis, beberapa ibu terpaksa.
Ketidakadilan Hukum
Kasus NM jika kita andingkan dengan kasus yang sama. Sebut saja misalnya, di Gowa, pada tahun 2016, Rismaya (35) seorang tersangka kasus pencurian harus mendekam di penjara bersama bayinya, Muhammad Amin yang baru berusia 10 bulan. Bayi malang ini harus ikut merasakan ekstrimnya suasana dibalik jeruji penjara karena ketergantungan sang bayi terhadap ASI ibunya. Di Lampung, pada awal Juni 2022 lalu akibat permohonan penangguhan penahanannya ditolak, seorang ibu muda terpaksa masuk tahanan bersama bayinya yang masih berusia 2 tahun. Pihak Kejaksanaan Negeri Bandar Lampung, menolak penangguhan ibu tersebut sebagai tersangka dalam kasus peredaran obat pelangsing ilegal (JP, 2/6/2022). Dan masih banyak kasus serupa; sama-sama terkena pidana, pelakunya sama-sama seorang ibu yang punya anak, tetapi status sosialnya yang berbeda. Tersangka yang satu pesohor, tersangka satunya kaum papa. Apakah karena beda status sosial ini, menjadikan perlakuan hukumnya berbeda?.
Berdasarkan pasal 21 ayat 1 KUHAP, penyidik berwenang melakukan penahanan atas tersangka kejahatan karena beberapa hal yaitu, khawatir tersangka melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindakan pidana. Dalam kasus NM, mulai proses hukum (baca: penyidikan) di kepolisian, sang tersangka tidak ditahan dengan alasan subjektif polisi. Bagi polisi, pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak melakukan perbutan yang sama. Dalam proses penyidikan di kepolisian, sangat kelihatan sekali perlakuan yang berbeda dengan kebanyakan pelaku yang lainnya dengan kasus yang sama. Apalagi NM dinilai tidak kooperatif dan seringkali terlibat kasus hukum. Perlakuan hukum ini tentunya sangat menciderai rasa keadilan masyarakat, jika dibandingkan dengan kasus yang sejenis diatas, tetapi tersangka ditahan. Bagaimana seandanya kasus yang sama dialami oleh selain NM. Dan fakta membuktikan, dengan kasus yang sama, pelakunya ditahan.
Keadilan hukum bagi kebanyakan masyarakat bagaikan sesuatu barang yang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang (baca: elit atau pesohor). Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses politik dan ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa Downward law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau gugatan oleh seseorang dari kelas atas atau kaya terhadap mereka yang berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya, keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.
Ketidakadilan hukum menjadi kata kunci untuk menjelaskan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia. Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.
Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, kenyataannya, hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Menurur Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain.
Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain. Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.
Penulis adalah Dosen Sosiologi Hukum FISIP UWK Surabaya, Penulis Buku : Hukum dan Keadilan MAsyarakat (2020)