IKN, Konflik Agraria, dan Ruang Deliberasi Hukum
SECARA legal, persoalan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru telah dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022. Dalam UU tersebut, pemerintah menetapkan IKN berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Cakupan wilayah IKN mencapai 256.142 hektare di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim. Sedangkan kawasan inti di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 hektare. Biaya pembangunan IKN ditaksir Rp 466 triliun.
Megaproyek ini tentu saja memerlukan kebutuhan lahan yang begitu luas. Secara faktual, ada sebagian tanah yang dikuasai negara. Ada juga yang dikuasai, bahkan dimiliki, masyarakat lokal atau adat setempat. Dengan kata lain, pembangunan IKN ini berpotensi menimbulkan banyak masalah sosial di masyarakat, salah satunya konflik agraria.
Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional Hadi Jatmiko mengatakan, wilayah IKN ini juga memuat wilayah yang ditinggali masyarakat adat. Dan perpindahan ini sebenarnya berpotensi menyebabkan konflik agraria yang pasti akan berkepanjangan (Jawa Pos, 15 Maret 2022). Secara faktual, masalah lahan IKN disebutkan memang dikuasai oleh berbagai perizinan, baik pertambangan hutan maupun perkebunan kelapa sawit. Namun, yang tak kalah penting, juga ada masyarakat adat yang telah bermukim di sana puluhan tahun.
Dalam titik ini, lahan-lahan pertanian atau tanah-tanah adat sangat rawan menjadi sasaran pengambilan secara paksa, termasuk alih fungsi lahan akan semakin ekspansif, dengan atas nama pembangunan. Praktik-praktik ala Orde Baru, yakni perampasan sepihak hak atas tanah masyarakat lokal atau adat, sangat mungkin terjadi. Saat ini saja, dengan kebijakan infrastruktur dan industrialisasi begitu masif dan eksesif, telah melahirkan berbagai konflik agraria yang meluas dan berkepanjangan di berbagai daerah di Indonesia.
Noer Fauzi Rachman (2016) menyebutkan bahwa penyebab utama dari konflik agraria bersumber dari adanya dominasi sistem penguasaan tanah yang berasal dari hukum negara. Di mana negara secara sepihak memberikan layanan begitu besar kepada pemilik-pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam mengelola tanah dan kekayaan alam lainnya, termasuk hasil-hasil hutan.
Sementara itu, hak-hak masyarakat setempat yang telah lama hidup dan mengembangkan suatu sistem tersendiri untuk mengelola tanah dan kekayaan alam lain tersebut diabaikan dan dilanggar begitu saja. Bahkan, yang terjadi bukan hanya dominasi satu sistem hukum (baca: hukum negara). Tapi juga praktik dominasi negara atas masyarakat yang diwarnai dengan unsur-unsur kekerasan secara struktural (structural violence). Karena sumber utamanya datang dari aparatur negara.
Baca juga :
Dualisme Hukum
Persoalan konflik agraria adalah persoalan struktural yang sangat kompleks dan multidimensional. Selain terkait dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi, juga terkait dengan masalah hukum. Ada problematika hukum yang bersifat dualisme, yakni hukum negara dan hukum rakyat. Masing-masing mempunyai dasar klaim kebenaran dengan logika sendiri-sendiri. Negara menempatkan hukum sebagai determinan struktur yang terekonstruksi. Yakni dari wujudnya yang bersifat substantif (berkandungan etis dan moral keadilan) ke wujud yang lebih menekankan bentuknya yang formal, eksklusif, dan lebih berorientasi pada aspek legal-prosedural yang ditopang oleh lembaga birokrasi negara.
Sementara hukum rakyat pada umumnya bersifat lokal, memiliki kekuatannya dalam wujud realitasnya sebagai pola perilaku/pattern of actual behavior (Musta’in, 2007:63–65). Dalam konteks hukum rakyat ini, masyarakat menempatkan hukum rakyat atau kebiasaan sebagai pijakan norma, tradisi bersama dalam hidup bermasyarakat. Hukum yang berbentuk tidak tertulis itu secara turun-temurun dipertahankan sebagai sesuatu yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat, membentuk identitas sosial lokal yang unik dan membedakannya dengan hukum negara yang tertulis (Wiratraman, dkk, 2014:11).
Ruang Deliberasi Hukum
Potensi konflik agraria yang berdimensi hukum dalam pembangunan IKN perlu untuk diantisipasi dan diminimalkan. Untuk mereduksi ketegangan dan konflik hukum dalam konflik agraria, pemerintah perlu untuk melakukan hal-hal berikut.
Pertama, perlu ada pembacaan dan pemahaman baru tentang relasi keduanya (hukum negara dan hukum rakyat). Negara dengan sistem hukumnya yang legal-formal perlu memahami bahwa ada kelemahan internal dalam sistem hukum negara. Kelemahan tersebut dapat ditutup dengan mengakui, menghormati, dan melindungi keberadaan hukum rakyat yang sudah puluhan tahun menjadi bagian inheren dalam kehidupan komunitas lokal. Termasuk dalam urusan pengaturan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah.
Kedua, untuk mengatasi kemacetan hukum (dualisme hukum dalam konflik agraria), pemerintah perlu membangun sistem komunikasi tepat guna dan negosiatif, bagaimana caranya keluar dari konflik dualisme hukum yang berkepanjangan dan agar tidak ada disparitas yang jauh antara UU/pembentuk hukum dengan kondisi sosiokultural masyarakat yang hendak diatur (Bertens, 2014:318-319).
Dalam pemikiran Habermas disebut sebagai tindakan komunikatif. Tindakan ini dilakukan sebagai respons sekaligus kritik atas relasi hukum dan sosial-ekonomi masyarakat kapitalis yang sangat timpang. Sistem kapitalis dan produk hukum yang berkarakter kolonialistik, sarat dengan unsur dominasi, manipulasi, dan eksploitasi. Praktik dan relasi seperti ini yang ingin didekonstruksi dengan tawaran tindakan komunikatif yang membebaskan, penuh egaliter, dialogis-argumentatif, untuk menuju suatu konsensus baru yang berkeadilan (Bertens, 2014:324).
Dalam konteks negara demokrasi, deliberasi hukum perlu dilakukan, dalam arti hukum sebagai produk dari sebuah konsensus harus dihasilkan melalui sebuah proses demokrasi deliberatif. Hukum yang diproduksi negara harus melalui proses diskursus dan diskusi yang partisipatif dan terbuka. Masing-masing pihak diberi ruang dan peluang yang sama dan setara dalam mengemukakan argumentasi (rasional) yang relevan.
Setiap argumentasi dapat dikritik, diubah, bahkan diganti sesuai dengan kesepakatan yang baru (Bertens, 2014:320). Artinya, harus ada komunikasi dan dialog yang setara, tidak ada dominasi dan tekanan, antara negara dan masyarakat adat Penajam Paser Utara dalam mencapai sebuah konsensus baru yang lebih berkeadilan. (*)
UMAR SHOLAHUDIN, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya