
Citayam Fashion Week: Keberhasilan Jakarta Menciptakan Ruang Publik ?
Pic: katadata.com
portalapssi— Selama ini, Indonesia digambarkan sebagai negara dunia ketiga, atau disebut juga sebagai negara periferi. Indonesia sebagai negara dunia ketiga hanya mendapatkan porsi sebagai negara produksi dan reproduksi, dengan alat dan modal dari orang-orang yang berasal dari dua negara dunia yang lain yaitu negara semi-feri dan negara inti atau core. Itulah yang digambarkan oleh Emanuel Wellerstein pada teorinya mengenai konsep dunia. Sampai saat ini, Indonesia masih saja berjalan sebagai negara periferi dan bahkan itu semua didukung oleh pemerintah pusat dengan diciptakannya Undang-Undang Omnibus Law atau Cipta Kerja demi mempermudah investor dari negara lain untuk berinvestasi di Indonesia. Lalu adakah perubahan yang terjadi?
Belakangan ini muncul fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang merupakan sekumpulan anak muda yang mencari eksistensi diri di ruang publik Jakarta. CFW muncul dibarengi dengan hadirnya pro juga kontra. Sebagian masyarakat memuji kehadiran Bonge, Kurma dan anak muda lain yang tergabung pada kumpulan tersebut, namun sebagian juga mencela bahkan lebih parah lagi menempelkan stigma negatif. Sebenarnya, fenomena ini hampir mirip dengan fenomena awal mula kemunculan komunitas punk di Inggris dan komunitas Harajuku di Jepang, dimana banyak anak muda yang berpenampilan nyentrik dan berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Komunitas-komunitas itu hadir sebagai protes sosial terhadap orang-orang berpenampilan rapi yang terkekang oleh sistem. Kita anggap saja anak muda yang tergabung sebagai kelompok CFW itu hadir sebagai aksi melangsungkan protes terhadap minimnya ruang publik yang nyaman dan aman bagi masyarakat di kota-kota lain, sehingga mereka memilih Jalan Sudirman sebagai tempat yang cocok untuk dijadikannya ruang publik.
Sebenarnya, awal mula hadirnya CFW ini bukan untuk melakukan fashion show layaknya model di atas catwalk, namun mereka yang notabene berdomisili di luar Jakarta hanya memerlukan tempat untuk nongkrong dan membuat konten demi memberi asupan gizi bagi media sosialnya. Orang-orang yang melek konten akhirnya datang dan membuat konten tentang mereka, sehingga CFW banyak dikenali oleh masyarakat karena gaya penampilannya yang modis dan stylish. Masyarakat atau netizen mulai membanding-bandingkannya dengan model ala orang Perancis atau bisa kita sebut, Paris Fashion Week. Disitulah beberapa dari mereka mulai melakukan fashion show di zebra cross layaknya model dengan banyak kamera disekelilingnya.
Hal yang perlu disepakati disini ialah kehadiran CFW memberikan dampak positif bagi kita sebagai orang-orang yang jelas memerlukan ruang publik untuk bersosialisasi. Manfaat yang tidak terelakkan lagi, salah satunya adalah dengan viralnya sub-kultur tersebut, CFW mulai diperhatikan oleh beberapa Kepala Daerah dan Menteri. Diantaranya adalah Gubernur Jakarta sendiri yang menanggapi hal tersebut dengan positif, Gubernur Jawa Barat yang turut mengikuti Fashion Show di trotoar Jalan Sudirman, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang menjanjikan beasiswa bagi para pemuda CFW dan Wali Kota Depok yang berniat memperlebar trotoar selebar empat meter di kotanya agar masyarakat Depok dapat nyaman dalam ruang publik kota tersebut.
Jadi, masyarakat Indonesia sebagai masyarakat negara dunia ketiga yang tidak dapat terbantahkan lagi, juga mampu mengadopsi tren-tren yang negara inti ciptakan. Bonge, Kurma, Roy dan Jeje dapat meniru tren fashion yang mereka inginkan dengan tujuan meraih atensi publik baik melalui media sosial maupun dunia nyata yang berhadapan langsung dengan dirinya dan juga dengan modal yang dapat dijangkau. Stigma Indonesia sebagai negara pekerja, sedikit berubah dengan adanya sub-kultur CFW, contohnya adalah ketika ada salah satu media Jepang yang mengangkat isu tersebut dan membanding-bandingkan pemuda CFW dengan sub-kultur yang ada di negaranya yaitu Harajuku.
Di masa lalu, Presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno, pernah memiliki harapan agar dapat menjadikan Jakarta sebagai kota budaya, seperti New York di Amerika. Maka dari itu, Soekarno menujuk langsung seorang pegiat seni dari Lembaga Kebudayaan Rakyat bernama Henk Ngantung (Hendrik Hermanus Joel Ngantung) untuk menjadi Gubernur Jakarta kala itu. Secara tidak langsung, cita-cita Soekarno tersebut diwujudkan dengan hadirnya sub-kultur CFW di ruang publik yang baik seperti Jalan Sudirman. CFW jelas berasal dari masyarakat menengah ke bawah, dari akar rumput, ide yang muncul secara organik dan alami sebagai protes bagi para Kepala Daerah untuk dapat menyediakan ruang publik yang baik, nyaman dan aman.
Sayangnya ide organik yang berasal dari akal rumput tersebut dapat pula dimanfaatkan oleh brand-brand besar dan bahkan sampai ada yang menyewa model sungguhan untuk catwalk di zebra cross Jalan Sudirman. Brand-brand tersebut merasuk ke kelompok mereka tanpa mereka sadari, dengan cara membuat konten membagi-bagikan baju dan menyuruh mereka bergaya sebagai model dengan tujuan brand tersebut mendapatkan pasar dan jaringan yang lebih luas. Pengusaha di bidang entertainment pun tidak mau kalah, PT. Tiger Wong Entertaintment dengan mudahnya mendaftarkan CFW sebagai Hak Kekayaan Intelektual ke lembaga yang bertanggung jawab atas hal itu, sehingga CFW nantinya akan menjadi merek milik perusahaannya. Sekali lagi kita dapat melihat kepicikan kapitalisme, ide yang berasal secara alami dari akar rumput pun dapat mereka klaim sebagai hak milik dirinya pribadi.
Henri Lefebvre pernah mengemukakan idenya perihal hak atas kota, dimana menurutnya hak atas kota harus mencakup hak terhadap kota sebagai sesuatu yang nyata dan disadari. Hak tersebut harus hadir dengan segala kerumitannya pada saat ini dan harus pula dapat memperbaharui kota tersebut berdasarkan konteks ekonomi politik yang update. Dengan ini berarti berbagai kalangan masyarakat yang ada, tanpa terkecuali, tanpa memisahkan mana si miskin dan mana si kaya, harus pula mendapatkan akses yang setara, hak yang setara dan terlebih lagi berhak berkontribusi untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut. Ini juga berarti bahwa tidak ada yang salah sama sekali dengan hadirnya sub-kultur CFW yang memilih Jalan Sudirman sebagai tempat mereka menikmati ruang publik, karena kehadirannya pun dapat menciptakan pengaruh yang positif bagi semua kalangan masyarakat. Misal, para pengusaha brand fashion dan entertaintment dengan gaya kapitalismenya, mereka dapat berlaku seolah berkontribusi pada mereka juga mengharapkan pasar brandnya menjadi lebih besar dari sebelumnya. Manfaat lainnya adalah, masyarakat menjadi paham akan pentingnya ruang publik, tertatanya kota agar dapat menjadi ruang yang nyaman, aman dan baik untuk melakukan sosialisasi.
Kota milik semua warganya tanpa harus terkotak-kotakkan dengan daerah dimana kita berasal, masyarakat membayar pajak demi terciptanya ruang publik yang baik kepada negara, maka dari itu biarkan saja CFW ada dan hadir ditengah-tengah kita. Jika nanti sub-kultur seperti CFW ini menjamur di berbagai kota selain Jakarta, kita semua dapat indikasikan hal itu sebagai keberhasilan kota-kota di Indonesia dapat menciptakan ruang publik yang baik, nyaman dan aman bagi semua warganya.
Penulis :
Argyo Demartoto adalah Dosen Sosiologi FISIPOL Universitas Sebelas Maret
Djilzaran Nurul Suhada adalah Mahasiswa Program Magister FISIPOL Universitas Sebelas Maret